Sengketa Lahan Terus Terjadi, Rakyat Semakin Terdzalimi

WARTA PERISTIWA

- Jurnalis

Jumat, 28 Maret 2025 - 18:21 WIB

50182 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Gelombang solidaritas terhadap empat warga Desa Telemow yang kini menghadapi sidang perdana dugaan penyerobotan lahan HGB PT ITCI KU terus mengalir. Mereka menuntut negara menunjukkan keadilan, dengan membebaskan lahan dan warga yang ditahan serta mendesak Presiden Prabowo Subianto bersikap.

Di luar Pengadilan Negeri (PN) Penajam Paser Utara (PPU), tempat kasus ini di sidangkan, sejumlah warga membawa kertas bertuliskan tagar #TANAHUNTUKRAKYAT dan menuntut keadilan bagi empat warga yang kini menjadi terdakwa.(kaltimtoday.co 20/3/2025).

Sengketa lahan atau tanah menjadi momok yang sangat menakutkan terutama bagi rakyat kecil. Tidak sedikit kasus semacam ini berakhir pada terzolimi dan terampasnya hak warga, meski mereka memiliki bukti kepemilikan dan sudah sejak turun temurun mendiami lahan atau tanah tersebut.

Jika menilik kasus sengketa lahan di Desa Telemow, sangat tampak keberpihakan negara bukan pada rakyat. Apalagi PT ITCI KU merupakan bagian dari Arsan Group milik Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha dan adik Prabowo Subianto.

PT ITCI KU membenarkan konflik mereka dengan warga bermula dari perpanjangan HGB No. 00001 seluas 83,55 hektare yang diterbitkan BPN pada tahun 2017. Meskipun warga memiliki bukti penggarapan sejak tahun 1912-1960 dan pembayaran pajak pada tahun 1997 namun di sisi lain ITCI KU mengklaim lahan tersebut berdasarkan sertifikat HGB yang diterbitkan pada tahun 1993 dengan masa berlaku hingga 2014 dan telah diperpanjang pada tahun 2017 untuk jangka waktu 20 tahun hingga 2037.

Kasus tersebut menambah daftar panjang konflik agraria di Kaltim yang melibatkan Perusahaan besar dan masyarakat adat. Tanah yang merupakan tanah ulayat menurut hukum adat yang telah diakui negara tersebut sudah dihuni masyarakat setempat jauh sebelum HGB PT ITCI KU diterbitkan.

Miris, melihat rakyat kecil berjuang demi tanah penghidupan mereka, apalagi ini masih di wilayah IKN sementara negara dengan mudah dan murahnya mengobral tanah/lahan di IKN kepada investor hingga mendapat hak guna 190 tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 9 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN.

Masyarakat menuntut keadilan atas lahannya namun diperlakukan tidak adil bahkan dijadikan terdakwa dan masih diproses hukum hingga saat ini. Dan tidak jarang perusahaan yang bersengketa justru menggunakan aparat kepolisian atau sejenisnya untuk memuluskan rencana mereka.

Peristiwa semacam ini tidak hanya terjadi di Kaltim yang ditetapkan sebagai IKN, namun hampir di seluruh wilayah negeri ini sering terjadi konflik lahan, apalagi semenjak program Proyek Strategi Nasional (PSN) disahkan.

Demikian kisruhnya sengketa lahan di negeri ini yang melibatkan rakyat kecil dan pengusaha oligarki. Maka bisa ditebak endingnya yang kuatlah yang menang, sehingga terampas dan terenggutnya hak rakyat atas tanah-tanah serta ruang hidup mereka.

Hal ini merupakan keniscayaan di sistem kapitalisme sekuler, sistem yang memang memberikan ruang luas bagi kapitalis oligarki untuk memuaskan nafsu keserakahan mereka. Sistem ini menempatkan kapitalis oligarki sebagai pengendali kebijakan penguasa atas hutang kampanye demokrasi yang berbiaya mahal.

Sistem ini menempatkan manusia sebagai pembuat hukum/aturan atas dirinya, sehingga tidak heran kemudian hukum/aturan yang berlaku pastinya akan cenderung kepada pembuatnya. Karena ini adalah sistem kapitalisme maka pembuatnya adalah para kapitalis oligarki yang bertopengkan anggota dewan yang terhormat, maka tengoklah hasil dari peraturan/regulasi yang ada, hampir semua menguntungkan mereka.

Selanjutnya rakyatlah yang akan jadi korban
atas keserakahan mereka, fakta diatas tidak cukupkah membuktikan bahwa sistem ini tidak akan mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat kecil? Sistem yang selalu cenderung pada pembuatnya dan menyengsarakan yang lain sudah sepatutnya dibuang dan digantikan dengan sistem yang mampu memberikan harapan kebaikan bagi seluruh umat manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Dan hal itu hanya Islam yang mampu merealisasikannya.

Dalam Islam, penguasa atau negara adalah raa’in (pengurus) bagi seluruh rakyatnya. Baik bagi rakyat kecil maupun pengusaha, sebagaimana hadits Rasulullah Saw “Imam/Khalifah adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.”(HR. Bukhari).

Sehingga ketika ada persengketaan lahan maka negara akan bersikap adil dengan menjalankan proses pembuktian dan pengadilan oleh qodhi yang berkompeten. Termasuk perlakuan penguasa akan diadili jika dzolim terhadap rakyatnya. Sikap ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidak seorang pun yang diserahi urusan umat ini, lalu tidak berlaku adil kepada umat kecuali Allah pasti menjerumuskannya ke dalam neraka.” (HR. Thabrani).

Mekanisme kepemilikan tanah/lahan dalam Islam jelas, tanah/lahan tersebut dapat dimiliki oleh individu melalui 6 cara yang ditetapkan syariah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (1963). Keenam cara syariah itu adalah, (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah (4) ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (meletakkan batu di sekeliling tanah mati yang dihidupkan), dan (6) iqtha (pemberian negara kepada rakyat).

Namun kepemilikan tanah ini khususnya lahan pertanian, ada syaratnya, yaitu tidak boleh ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut, hak kepemilikannya hilang sebagaimana dijelaskan dalam As-Sunnah dan ijmak sahabat. Hukum ini berlaku umum baik untuk tanah yang dimiliki melalui ihya’ul mawat dan tahjir maupun yang dimiliki dengan cara-cara lainnya ,yaitu jual beli, waris, hibah, dan iqtha. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan itu akan diambil alih oleh negara dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya.(https://alwaie.net/hiwar/kh-m-shiddiq-al-jawi-pengelolaan-tanah-harus-sesuai-syariah/)

Kepengurusan rakyat oleh negara dalam sistem Islam sebagaimana tuntunan syara’ menetapkannya sehingga negara betul-betul menempatkan syara’ sebagai tolak ukur dalam bertindak, dan Islam sangat jelas dalam mengatur kepemilikan harta sehingga mampu terdistribusi secara adil, tidak ada kebebasan kepemilikan sebagaimana sistem kapitalisme sekuler saat ini, dimana harta kekayaan negara termasuk lahan/tanah hanya dikuasai para kapitalis oligarki saja. Wallahu a’lam bishowab.

Berita Terkait

Revisi UU Polri Justru Akan Mempersempit Ruang Publik
Teror nDhas Babi dan nDhas Tikus Masih Gelap: Jangan sampai “Unsolved Mystery” atau Indonesia Semakin Gelap
Toleransi Ala Moderasi Merusak Akidah
Koperasi Tambang Rakyat, Eksplorasi Minerba Berbasis Kesejahteraan

Berita Terkait

Kamis, 24 April 2025 - 14:17 WIB

Himlab Raya Jakarta nilai tuduhan yang di arahkan kepada Bupati Labura Tidak Berdasar

Rabu, 16 April 2025 - 13:21 WIB

Tidak ada Intervensi TNI saat Diskusi Mahasiswa di Semarang, PW GPA DKI Jakarta: Stop Penggiringan Opini Liar

Sabtu, 29 Maret 2025 - 19:07 WIB

Mengecam Narasi Tendensius dan Fitnah Yang Di Arahkan Kepada Keluarga Menperin Agus Gumiwang

Kamis, 27 Maret 2025 - 13:08 WIB

UU TNI Bukan Kembalikan Dwifungsi Akan Tetapi Memperkuat Peran Tugas Terhadap NKRI

Selasa, 4 Februari 2025 - 12:55 WIB

Warga Diminta Tenang, AZAN Tetap Bupati Aceh Timur: Tak Ada PSU

Selasa, 26 November 2024 - 07:51 WIB

Gus Kholil: Gunakan Hak Politik Sungguh-sungguh dan Tanggung Jawab

Senin, 21 Oktober 2024 - 17:08 WIB

Cawagub Aceh Dek Fad Silaturrahmi ke Rhoma Irama

Minggu, 6 Oktober 2024 - 19:46 WIB

Kaesang Pengarep Putra Presiden Republik Indonesia Ir Joko Widodo Siap Turun Gunung Memenangkan Pasangan Bintang – Faisal Nomor Urut 4

Berita Terbaru